Pada hari kamis tanggal 17 April 2019 saya berangkat meninggalkan ibukota Jakarta menuju Kota Pontianak Kalimantan Barat. Ketika kebanyakan pemuda sebantaran saya sibuk dengan Pemilu 2019, saya bersama 45 orang pemuda lainnya berangkat menuju pelosok sisi terdalamnya Indonesia. Yah, sebut saja kami meninggalkan kemewahan yang menjadi kebutuhan para milenial. Setelah 2 hari di Pontianak, koordinasi dengan Dinsos Kalimantan Barat saya melanjutkan perjalanan menuju Kota Ketapang. Jaraknya hampir mencapai 530 KM. Katanya sih cukup jauh jika ditempuh dengan jalur darat dan alhasil saya memutuskan menempuh jalur udara. Sesampai di Ketapang saya dijemput oleh Pak Japani Staf Dinsos Ketapang. Selanjutnya diajak kerumahnya. Rumah itu menjadi rumah kedua yang saya tempati di Kalimantan Barat setelah sebelumnya saya menginap dirumah Bu Eka Kasi KAT Dinsos Kalimantan Barat. Sejenak saya merasakan sebuah kehangatan keluarga baru, saya diterima sebagai seorang anak laki-laki yang baru pulang dari rantau. Hari senin saya melapor ke Dinsos Ketapang dan dipertemukan dengan Pak Lipinus yang merupakan Kepala Desa Tanjung Beringin, tempat dimana saya akan bertugas. Kami bersepakat dengan Pak Lipinus untuk berangkat esok harinya ke Lokasi KAT. Bukan main-main saya akan kembali menempuh jarak 330 KM dan itu tak ada kompromi lagi, kita harus melalui jalur darat. Pak Lipinus dengan motor tracker plat merahnya menunggu di Kecamatan Sungai Laur. Sementara saya naik travel dari Kota Ketapang menuju Kecamatan Sungai Laur. Perjalanan ditempuh selama 10 Jam perjalanan. Cukup membuat saya tersenyum dan terkadang mengutuk untuk sarana jalan yang ada. Indotani-Pelang adalah kata untuk mewakili daerah dengan jalan yang sangat parah. Sesampai di Kecamatan kami berjumpa di sekretariat pendamping desa. Kemudian pada pukul 20.30 Wib kami memulai perjalanan ke Desa Tanjung Beringin, diperkirakan perjalanan akan ditempuh selama 2 Jam. Diperjalanan yang hanya menggunakan penerangan dari lampu motor, kami menembus hutan Kalimantan yang sangat lebat. Motor yang kami pakai akan membawa beban yang cukup berat karena juga membawa ransel besar dan daypack saya. Kurang lebih jika di totalnya sampai 20 Kg. Setelah satu jam perjalanan kami berhenti sejenak, Pak Lipinus menyampaikan kepada saya ini adalah lokasi sinyal terakhir. Saya terus mengingat lokasi itu di dalam gelapnya malam. Karena medan yang sangat berat dan berlumpur kami terjatuh beberapa kali dan masuk desa dengan penuh lumpur diseluruh badan. Kami hanya bisa tertawa, ya begitulah kondisinya. Saya menginap dirumah Pak Lipinus yang sangat sederhana, ini adalah rumah ketiga saya menginap. Seperti biasa saya disambut hangat tanpa ada cela sedikitpun. Benar-benar jauh, transportasi sulit, tanpa listrik, tanpa sinyal, tanpa relasi, sempurna sudah. Tapi disisi lain saya menemukan kehangatan dan keikhlasan serta senyuman tulus di pelosok negeri ini yang menjadi pemantik untuk bisa memberikan yang terbaik. Begitulah gambaran yang saya jalani setiap awal bulan jika ingin sampai ke Kota dan sebaliknya, kadang seru dan kadang jengkel juga. Ya sudah nikmati saja.
Hari
pertama tentunya kita berjumpa dengan warga KAT dan Tokoh Adat. Setelah
serangkaian adat bebiso untuk
pendatang baru, saya mulai berbaur dengan warga KAT dan diterima secara penuh.
Setiap pagi mulai pukul 05.30 s.d 08.00 Wib saya habiskan untuk berkunjung
kerumah-rumah dan memperkenalkan diri lebih dekat. Biasanya kita akan disuguhi
kopi panas, dari situlah cerita dimulai. Memahami dan mendekati mereka secara
perlahan. Pukul 08.00 s.d 10.00 saya habiskan untuk keperluan pribadi seperti
masak, bersih-bersih, mencuci dan mandi di Sungai. Ketika di Sungai kita akan
jumpai ibu-ibu dengan aktifitas yang sama, diskusi dan cerita hidup pun
berlangsung disitu. Biasanya akan lebih natural dan tanpa beban. Pukul 10.00
s.d 13.00 wib saya habiskan waktu berkunjung ke kantor Desa untuk berdiskusi
dan sekerdar ngopi. Mencoba bertukar pikiran dan mencari jalan lain untuk
perkembangan warga KAT. Mereka sebagai ujung tombak pembangunan desa akan
sangat senang jika kita berbicara tentang hal baru. Disitulah saya merasa bahwa
masyarakat pedalaman dapat menerima hal baru dengan analogi yang lebih
realistis. Pada pukul 13.00 s.d 16.00 Wib saya hanya dirumah untuk sekedar bermain dan belajar
dengan anak-anak, menemani mereka membaca dan kadang menerima curhat orang tua.
Pukul 16.00 Wib s.d 17.30 saya habiskan dengan bermain Volly atau takraw
bersama warga. Kemudian dilanjutkan dengan kegiatan MCK sore. Pukul 18.30 Wb
s.d 20.00 Wib saya kembali mengajar untuk anak-anak KAT. Pukul 20.00 s.d 22.00
saya habiskan untuk berdiskusi dan ngopi bersama warga yang hanya ditemani
lampu minyak/pelita. Seperti itulah agenda harian saya di Lokasi KAT. Bagi saya
perubahan pola pikir dimulai dari
Pendidikan. Seperti saat saya wawancara ketika seleksi. Diskusi dan mengajar
adalah hal wajib yang saya lakukan.
Hal
yang pertama yang saya lakukan adalah membuka kelas belajar bagi anak-anak,
secara tak terduga saya memiliki murid berjumlah 61 orang yang berasal dari
Anak-anak KAT dan Anak-anak Desa mulai dari PAUD sampai kelas 3 SMP. Memberikan
motivasi dan dorongan untuk terus sekolah dan belajar adalah sebuah keharusan.
Kelas belajar dibuat semenarik mungkin. Saya membebaskan mereka untuk belajar
apa saja. Hal kedua yang saya lakukan adalah mendirikan rumah baca. Awalnya
hanya ada 5 buah koleksi buku, 4 buku tentang pengentasan buta aksara dan 1
buku dari google tentang kamajuan teknologi. Dari 5 buku, sekarang sudah
mencapai 203 Buku yang menjadi sumbangan dari Pengurus Besar (PB) PGRI Jakarta,
Perpustakaan Daerah Kalimantan Barat, Dewan Kerja Cabang (DKC) Pramuka Ketapang
dan Donatur lainnya. Dirumah baca, saya melihat buku bagi mereka seperti kuota
internet yang tanpa batas. Mereka begitu antusias, tidak hanya anak-anak tetapi
semangat literasi membaca juga sudah tertular kepada ibu-ibu, bapak-bapak,
pemuda dan warga desa lainnya. Diskusi kami setiap pagi dan sore bersama warga
KAT sudah lebih beragam yang awalnya hanya sekedar bertani sekarang sudah masuk
keranah berternak, politik, ekonomi, kuliner dan dunia luar seputar teknologi.
Warga tak segan meminjam buku untuk dibawa kerumah. Setiap warga mempunyai
kebiasaan menceritakan isi buku yang mereka baca kepada warga lainnya. Hal itu
membuat rasa penasaran bagi yang belum membaca dan membuat jadi diskusi lebih
hangat.
Selain
mendampingi warga KAT saya juga diminta Kepala Desa untuk mengawasi jalannya
pembangunan desa serta memberikan saran dan kritikan terhadap proses
pembangunan. Hubungan yang baik dengan Pihak Desa menjadikan mereka adalah
mitra utama saya dalam melaksanakan tugas. Dalam 8 bulan bertugas kita berhasil
menyelesaikan masalah adminitrasi kependudukan Warga KAT. 100% sudah memiliki
KK. 98 % Warga KAT sudah memiliki NIK dan 2 % sedang proses pengajuan karena
baru lahir. Saat ini bagi anak-anak sudah mengarah ke pembuatan Kartu Identitas
Anak (KIA). Beberapa program sinergitas dengan desa daiantaranya adalah
pembangunan sanggar belajar desa, pembuatan jalan rabat beton di Lokasi KAT
sepanjang 100 M, Pembangungan sanitasi air limbah sepanjang 900 M di perumahan
KAT dan pembuatan streigher/tambatan perahu di sungai dekat lokasi KAT.
Pemerintah Desa Tanjung Beringin menjadi ujung tombak dalam setiap penyelesaian
masalah di Lokasi KAT.
Disisi
lain dalam upaya mempercepat pembangunan di Lokasi KAT, saya melakukan
kunjungan ke beberapa instansi dan OPD tingkat kabupaten. Mulai dari Dinas
Pendidikan, Disdukcapil Pertanian/Peternakan, Pemuda/Olahrga, Ketahanan Pangan,
Pekerjaan Umum (PU) dan Bappeda. Dari
hasilnya mereka kebanyakan tidak mengetahui tentang program KAT. Setidaknya
setelah dilakukan kunjungan menjadi bahan pemikiran bagi para pemangku
kebijakan. Hasilnya di bulan terakhir ada beberapa Dinas yang kemudian
mengucurkan anggarannya ke lokasi KAT seperti Dinas Ketahanan Pangan berupa
bantuan beras sebanyak 1 Ton, Dinas Pertanian berupa bantuan bibit cabe, Batuan
sarana air bersih melalui program PAMSIMAS dan perbaikan jembatan dari PU.
Memberikan intervensi melalui pendekatan personal dengan melibatkan
pemuda-pemuda Ketapang jauh lebih efektif. Saya membangun kedekatan dengan
sejumlah organisasi dan komunitas pemuda di Ketapang yang pada akhirnya menjadikan
mereka local hero untuk melanjutkan
pendampingan secara mandiri.
Seiring perkembangan dan cerita tentang KAT, saya mulai berbagi dan diskusi dengan berbagai NGO Seperti Wikimedia Indonesia melalui program Wikilatih PGRI yang pada akhirnya mendatangkan buku-buku. Think Web melalui Think Women pada Program Perempuan Maju Digital bersama Yayasan Ganara yang menghasilkan sebuah ide untuk membangun critical thinking melalui seni bagi warga KAT. Juga berdiskusi dengan AMCF Kapal kemanusiaan Kalbar tentang konsep pemberdayaan yang dilakukan di sepanjang Sungai Kapuas. Serta dengan Rumah Zakat melalui Program Rona Nusantara 2019 yang membuat saya memahami cara berbagi terbaik dan kondisi Relawan di Kalimantan Barat. Masih banyak lagi kerjasama yang sedang dirintis baik dengan NGO, Rumah Kreatif, dan Personal yang mengundang rasa penasaran untuk tetap dilanjutkan. Pada akhirnya saya memahami bawah ini adalah sebuah proses yang panjang dan membutuhkan dukungan bersama. Saya sangat penasaran dengan perubahan yang terjadi 10-20 tahun lagi di Lokasi KAT.
Komentar
Posting Komentar